Ilustrasi : Langit senja di Polinela/Foto : Rizky Norfatria Ardy
Karya: Dini Indrastuti
Namanya Langit, namaku
Senja. Mereka bilang kami
cocok karena tanpa senja,
langit tak akan tampak sempurna menjelang petang. Karena tanpa langit, senja
tak bisa berbuat apa-apa. Ya, senja yang selalu membutuhkan langit, tapi
langit yang terkadang hanya bisa menatap senja sementara. Aku suka Langit, Langit suka Rinai.
Rinai yang datang setiap sore saat aku ingin
menemani Langit menikmati surya tenggelam, Rinai yang selalu bahagia di sisi Langit.
Rinai adalah segalanya dan aku–Senja yang tak
pernah lelah menunggu Langit. Senja yang merindukan renjana.
14 tahun lalu aku
mengingatnya, tentang kami yang selalu
tertawa bersama tanpa tahu apa itu hidup, cinta, dan air mata. Dia selalu
menjemputku, memanggil namaku setiap pagi, mengajakku untuk bermain di teras
rumahnya, dan bercerita panjang tentang apapun. Walau tak begitu jelas, aku
masih ingat bagaimana raut wajahnya yang menggebu-gebu saat itu. Langit selalu
membawa mainan barunya setiap datang ke rumahku,
memperkenalkan dunia
kecilnya padaku.
Dulu aku tak tahu bahwa
ternyata Langit begitu
berharga, yang
aku tahu ia hanyalah teman kecil yang setiap harinya menemaniku bermain ketika
ibu sedang bergelut dengan kue-kuenya. Setelah
beberapa tahun belakang, setelah
kami sama-sama beranjak remaja, aku jadi tahu bahwa Langit kini tumbuh menjadi sosok yang
berani dan berhasil. Berhasil membuat teman kecilnya ini mengerti bahwa ada
seseorang yang begitu berarti dihidupnya.
Semuanya masih terlihat sama, pagar
rumahku masihlah coklat seperti saat pertama kali kami bertemu, pintu rumah Langit juga
terlihat hitam kala aku mengetuknya terakhir kali kemarin. Hanya saja, suasana
di rumahku tak lagi seramai dulu ketika Tuhan berbaik hati mengambil belahan
jiwaku hingga tak lagi ia rasakan sakit di tubuhnya.
Ayah pergi waktu aku
ingin memperlihatkan padanya sebuah piala yang bertuliskan bahwa aku meraih
juara pertama olimpiade fisika tingkat SMP tiga tahun lalu. Mataku terus
berkaca setiap kali mengingat bahwa satu malaikatku telah tiada, dan
untuk itu aku butuh seseorang yang senantiasa mengatakan padaku bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Harapan itu muncul saat aku melihat laki-laki didepanku.
“Senja..”
Aku baru sadar bahwa
matanya memiliki iris yang sama denganku “hitam
pekat”. Aku berhenti
memandangnya ketika Langit mengibaskan tangannya di depan wajahku.
“Jangan suka melamun.”
tegurnya.
“Kenapa?” tanyaku
iseng.
“Nanti makanannya
keburu habis,” katanya sambil menyendokkan sepotong waffle dari piringku dengan
cengiran khasnya. Aku tak bisa menahan tawa.
“Ingat tidak, dulu kita
sering tukar bekal makanan sebelum berangkat sekolah.” matanya terlihat
menerawang ke masa lalu,
yang Langit tak tahu
ingatanku selalu mundur ke belakang hanya dengan menatap matanya. Semua
tergambar dengan sangat jelas,
senyumku kembali muncul
detik itu juga.
“Terus waktu selang air
Pak Tejo bocor, kita malah main air dan habis itu langsung demam dua hari.”
Langit tertawa setelah itu. Ia
selalu begini, tertawa denganku saat
menceritakan kembali masa kecil kami yang konyol. Percakapan seperti ini akan
berakhir dengan dering handphone milik Langit dan nama seorang perempuan
tertera dilayarnya.
“Ya sudah, nanti bicara
lagi ya.” bangku dihadapanku kini tak berpenghuni setelah pemiliknya beranjak
ke suatu tempat,
untuk bertemu
dengan gadis yang kini menjadi teman dekatnya setelah aku. Bahkan mungkin
sekarang aku bukanlah orang nomor duanya setelah ayah dan ibu Langit. Tapi
sosok berambut panjang nan jelita yang menjadi tempat untuk Langit bercerita.
Rasanya aneh bila
setiap kami bercengkrama, ada satu nama yang selalu ia sebutkan walau hanya
satu kali. Nama yang ketika aku ucapkan membuat maniknya berbinar, aku
tahu binar itu. Aku tahu,
binar yang hanya aku
temukan saat melihat kakakku bertemu dengan kekasihnya, dan
aku selalu berharap bahwa tatapan itu yang akan aku dapatkan ketika aku
memandangnya dalam.
Aku sadar akan apa yang
aku rasakan setiap kali wajahnya berputar dipikiranku. Senja ini hanya bisa
menerima kenyataan bahwa sosok yang diimpikannya hanyalah semu, tak
terjangkau, begitu jauh sehingga
membuat aku harus berlari mengejarnya yang juga sedang mengejar sosok lain.
Senja ini hanya
bermodalkan masa lalu yang baginya luar biasa, sementara ia tahu hal tersebut tak bisa
menjamin apa-apa. Karen kenangan
akan tetap menjadi kenangan. Kenangan tidak bisa diganti, dilupakan,
diperbaiki, atau dihapus. Ia hanya bisa diterima oleh siapapun yang
mengalaminya. Aku tahu itu,
tapi tak ada lagi yang
bisa kutawarkan padanya selain hadirku dan sepotong cerita dari masa lalu.
Meskipun begitu, aku senang ia tak melupakanku dan aku bahagia masih bisa melihatnya
menyapaku sampai saat ini.
Meskipun ayah adalah laki-laki yang kucintai,
tetapi Langit adalah harapan yang aku ciptakan untuk melengkapi kedua sayap
malaikatku yang kini tak sempurna. Aku ingin ia terus mengingatku, aku
ingin ia yang dulu. Aku ingin melihat wajahnya yang khawatir saat aku terjatuh
dari sepeda, aku
mau dia yang menemaniku. Rasanya sudah lama sejak saat itu, bahkan aku bertemu
dengannya..........................
To Be Continued
0 comments:
Post a Comment