Friday, May 12, 2017

Langit Senja

Ilustrasi : Langit senja di Polinela/Foto : Rizky Norfatria Ardy
Karya: Dini Indrastuti

Namanya Langit, namaku Senja. Mereka bilang kami cocok karena tanpa senja, langit tak akan tampak sempurna menjelang petang. Karena tanpa langit, senja tak bisa berbuat apa-apa. Ya, senja yang selalu membutuhkan langit, tapi langit yang terkadang hanya bisa menatap senja sementara. Aku suka Langit, Langit suka Rinai.

Rinai yang datang setiap sore saat aku ingin menemani Langit menikmati surya tenggelam,  Rinai yang selalu bahagia di sisi Langit. Rinai adalah segalanya dan aku–Senja yang tak pernah lelah menunggu Langit. Senja yang merindukan renjana.

14 tahun lalu aku mengingatnya, tentang kami yang selalu tertawa bersama tanpa tahu apa itu hidup, cinta, dan air mata. Dia selalu menjemputku, memanggil namaku setiap pagi, mengajakku untuk bermain di teras rumahnya, dan bercerita panjang tentang apapun. Walau tak begitu jelas, aku masih ingat bagaimana raut wajahnya yang menggebu-gebu saat itu. Langit selalu membawa mainan barunya setiap datang ke rumahku, memperkenalkan dunia kecilnya padaku.

Dulu aku tak tahu bahwa ternyata Langit begitu berharga, yang aku tahu ia hanyalah teman kecil yang setiap harinya menemaniku bermain ketika ibu sedang bergelut dengan kue-kuenya. Setelah beberapa tahun belakang, setelah kami sama-sama beranjak remaja, aku jadi tahu bahwa Langit kini tumbuh menjadi sosok yang berani dan berhasil. Berhasil membuat teman kecilnya ini mengerti bahwa ada seseorang yang begitu berarti dihidupnya.

Semuanya masih terlihat sama, pagar rumahku masihlah coklat seperti saat pertama kali kami bertemu, pintu rumah Langit juga terlihat hitam kala aku mengetuknya terakhir kali kemarin. Hanya saja, suasana di rumahku tak lagi seramai dulu ketika Tuhan berbaik hati mengambil belahan jiwaku hingga tak lagi ia rasakan sakit di tubuhnya.

Ayah pergi waktu aku ingin memperlihatkan padanya sebuah piala yang bertuliskan bahwa aku meraih juara pertama olimpiade fisika tingkat SMP tiga tahun lalu. Mataku terus berkaca setiap kali mengingat bahwa satu malaikatku telah tiada, dan untuk itu aku butuh seseorang yang senantiasa mengatakan padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Harapan itu muncul saat aku melihat laki-laki didepanku.
       “Senja..
      Aku baru sadar bahwa matanya memiliki iris yang sama denganku hitam pekat. Aku berhenti memandangnya ketika Langit mengibaskan tangannya di depan wajahku.
      “Jangan suka melamun.” tegurnya.
      “Kenapa?” tanyaku iseng.
     “Nanti makanannya keburu habis,” katanya sambil menyendokkan sepotong waffle dari piringku dengan cengiran khasnya. Aku tak bisa menahan tawa.
     “Ingat tidak, dulu kita sering tukar bekal makanan sebelum berangkat sekolah.” matanya terlihat menerawang ke masa lalu, yang Langit tak tahu ingatanku selalu mundur ke belakang hanya dengan menatap matanya. Semua tergambar dengan sangat jelas, senyumku kembali muncul detik itu juga.

     “Terus waktu selang air Pak Tejo bocor, kita malah main air dan habis itu langsung demam dua hari.” Langit tertawa setelah itu. Ia selalu begini, tertawa denganku saat menceritakan kembali masa kecil kami yang konyol. Percakapan seperti ini akan berakhir dengan dering handphone milik Langit dan nama seorang perempuan tertera dilayarnya.

     “Ya sudah, nanti bicara lagi ya.” bangku dihadapanku kini tak berpenghuni setelah pemiliknya beranjak ke suatu tempat,  untuk bertemu dengan gadis yang kini menjadi teman dekatnya setelah aku. Bahkan mungkin sekarang aku bukanlah orang nomor duanya setelah ayah dan ibu Langit. Tapi sosok berambut panjang nan jelita yang menjadi tempat untuk Langit bercerita.

Rasanya aneh bila setiap kami bercengkrama, ada satu nama yang selalu ia sebutkan walau hanya satu kali. Nama yang ketika aku ucapkan membuat maniknya berbinar, aku tahu binar itu. Aku tahu, binar yang hanya aku temukan saat melihat kakakku bertemu dengan kekasihnya, dan aku selalu berharap bahwa tatapan itu yang akan aku dapatkan ketika aku memandangnya dalam.

Aku sadar akan apa yang aku rasakan setiap kali wajahnya berputar dipikiranku. Senja ini hanya bisa menerima kenyataan bahwa sosok yang diimpikannya hanyalah semu, tak terjangkau, begitu jauh sehingga membuat aku harus berlari mengejarnya yang juga sedang mengejar sosok lain.

Senja ini hanya bermodalkan masa lalu yang baginya luar biasa, sementara ia tahu hal tersebut tak bisa menjamin apa-apa. Karen kenangan akan tetap menjadi kenangan. Kenangan tidak bisa diganti, dilupakan, diperbaiki, atau dihapus. Ia hanya bisa diterima oleh siapapun yang mengalaminya. Aku tahu itu, tapi tak ada lagi yang bisa kutawarkan padanya selain hadirku dan sepotong cerita dari masa lalu. Meskipun begitu, aku senang ia tak melupakanku dan aku bahagia masih bisa melihatnya menyapaku sampai saat ini.

Meskipun ayah adalah laki-laki yang kucintai, tetapi Langit adalah harapan yang aku ciptakan untuk melengkapi kedua sayap malaikatku yang kini tak sempurna. Aku ingin ia terus mengingatku, aku ingin ia yang dulu. Aku ingin melihat wajahnya yang khawatir saat aku terjatuh dari sepeda, aku mau dia yang menemaniku. Rasanya sudah lama sejak saat itu, bahkan aku bertemu dengannya..........................
To Be Continued


0 comments:

Post a Comment