Monday, April 18, 2016

Negeriku Budayaku

Karya: Fadhia A Intan S Dewi (Akuntansi)


Seorang gadis berjalan anggun di sekolah Negeri. Ia selalu menjadi sorotan mata karena parasnya yang cantik. Ia memomoles wajahnya tebal lalu mengenakan pakaian ketat, rok diatas lutut, dan tak lupa menenteng tas terbaru dari luar Negeri. Rambut pirangnya juga mengalun mengiringi langkahnya.
“Aurellia Adista Pratama!” panggil seseorang yang membuat langkah kakinya terhenti seketika. Aurel langsung membalikkan tubuhnya dan tersenyum. “Eh, pak Dika, ada apa pak?” balasnya santai tanpa rasa bersalah. Sedangkan pak Dika yang merupakan kepala sekolah menggelengkan kepalanya. Ia tak habis fikir dengan penampilan anak zaman sekarang yang kelewat batas.
“Kamu tahu aturan sekolah ini kan? Dilarang mengecat rambut dan diharuskan menggunakan pakaian yang sopan!” tegurnya tegas.
“Ya gimana ya, pak. Bapak ini kurang gaul sih pak. Ini gaya anak zaman sekarang tahu pak. Keren kan, pak. Coba deh bapak lihat di luar Negeri.
Disana sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Kece banget kan, pak.” Elaknya lagi.
“Cukup! Kamu harus turuti perintah saya atau kamu saya keluarkan.
Saya tidak peduli kalau kamu adalah
keponakan saya. Saya bisa adukan sikap kamu pada kedua orangtua kamu. Mengerti!” ancamnya agar dapat membuat
jera Aurel.
“Yah, jangan dong, pak. Nanti papi sama mami marah. Bisa-bisa semua fasilitas ditarik. Jangan dong, pak, yayaya.” Pintanya.
“Tidak ada bantahan. Lakukan
atau...,”
“Iya deh, pak. Besok saya ganti.” ujarnya pasrah. Ia sengaja memotong
ucapan pak Dika karena malas mendengar nasihat yang tidak ada habisnya.
Seketika ide langsung mengembang dibenaknya. Ia menghitung dalam hatinya.
“AURELLIA!!!!”
Aurel tertawa puas karena berhasil kabur.
‘Paman lebay. Biarin aja deh. Paman sih gak gaul.’ Ia bersenandung ria sambil
menunggu pak Burhan datang.
Tak lama berselang semua teman-temannya
memasuki kelas diikuti pak Burhan dipaling akhir. Aurel mengerutkan keningnya menatap pak Burhan yang raut wajahnya terlihat tengah menahan emosi.
“Selamat pagi.” Ucapnya yang terdengar dingin.
“Pagi pak.”
“Saya akan membagikan hasil ulangan minggu lalu. Saya sangat kecewa dengan hasil ulangan kalian khususnya kamu, Aurellia!” ujarnya tajam.
“Saya pak?” tanyanya sambil
menunjuk dirinya sendiri.
“Iya kamu! Kenapa kamu hanya mendapat nilai 20. Padahal ulangan
saya terbilang tidak sulit. Sedangkan
yang lain paling kecil adalah 60. Ini hanya bahasa Indonesia, Aurel. Bahasa dimana kamu berpijak saat ini.”
“Maaf, pak. Ya gimana ya pak, saya lebih suka bahasa luar Negeri sih.”
“Bener tuh, pak. Saya setuju sama Aurel.” Celetuk salah satu temannya.
“Saya enggak setuju dengan
kamu. Benar kata pak Burhan ini Indonesia. Negeri kita yang tercinta yang memiliki ragam budaya yang tak ternilai.”
“Woy, gak gaul banget lo.”
“Kamu yang tidak paham arti gaul yang sesungguhnya.”
“Ketinggalan zaman lo!”
“Jangan pernah kamu menghina tanah kelahiran kamu sendiri.”
“Wawasan elo tuh kuno sekali!”
“Huuuu..” balas yang lainnya
dan membuat keadaan semakin tidak tenang.
“Sudah diam semua! Ini Indonesia! Seharusnya kalian paham karena kalian itu penerus Bangsa. Aurel, silahkan keluar dari kelas saya sekarang juga!”
“Huft, baiklah pak.” jawabnya
sebal dan melangkah keluar kelas. ‘Kenapa semua menyebalkan. Lagian gaya dan bahasa asing lebih kece dan terlihat lebih gaul. Apa salahnya coba. Pada ketinggalan zaman semua.’ keluhnya
dalam hati.
***
Bel sekolah pun berbunyi. Tidak terasa Aurel telah menghabiskan waktu tiga jam membaca novel disalah satu bangku taman sekolah. Ia segera pergi kekantin untuk mengisi perutnya yang lapar. Pandangannya sesaat terhenti pada salah satu anak yang menjadi saingannya disekolah. Gadis itu mempunyai wajah cantik yang natural tetapi gaya dan hobi yang dimilikinya sangat tidak gaul. ‘Gue heran kenapa seorang Nadia Putri yang pakai seragam kebesaran, rambut dikelabang dua, hobi tari tradisional terus sering menggunakan tas dari daur ulang malah bisa jadi saingan gue. Enggak banget!’ pekiknya dalam hati.
“Aurel sini gabung sama aku.” Ajak seseorang yang tak lain adalah
Nadia. Gadis itu tersenyum ramah sekali namun ditepis oleh kesinisan Aurel.
“Enggak deh. Disitu panas nanti gue hitam! Ogah banget.” tolak Aurel.
“Hu, gaya. Sampai segitunya
sama terik matahari.” Ujar Zahra.
“Sudah jangan begitu, Za. Tidak boleh gitu atuh sama Aurel.” Bela Nadia yang masih tetap ramah dan tidak mau membalas perilaku Aurel.
Aurel segera melanjutkan langkah kakinya untuk memesan makanan dan minuman. Kemudian ia berjalan kebangku kosong yang tak jauh dari ia berdiri. Bahunya ditepuk saat tengah menikmati makananya. Aurel segera menoleh dan menatap sebal pemuda itu. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya sejak ia kecil, Arnando Aji Farezza. Pemuda tampan itu langsung duduk dihadapannya.
“Cie, ganti warna rambut lagi. Gak takut rusak tuh rambut, neng?” godanya membuat Aurel berdecak sebal. ‘Apa banget sih, Ndo. Bete gue.’
“Enggaklah! Gue kan ke salon yang udah punya serti Internasionalnya
jadi akan selalu indah.” balasnya
membuat Nando menggelengkan kepalanya. Ia sudah sangat mengerti bagaimana sikap sahabatnya itu yang tidak pernah mau ketinggalan informasi untuk mengikuti setiap perkembangan era globalisasi.
“Ya terserah kamu. Aku cuma ingetin jangan pernah ikutin arus yang kearah lebih negatif. Kamu tahu kan yang aku maksud.” Ucapnya mengingatkan
tanpa pernah lelah. Ia tidak ingin kalau sahabatnya salah jalan dikemudian hari.
“Iya gue paham. Narkoba sama pergaulan bebas kan maksud lo?”
“Iya tepat sekali. Awas aja kalau kamu sampai dekati itu. Aku bakal masukin kamu ke rumah sakit jiwa biar kamu makin gila. Ingat itu baik-baik.”
“Berani?” tantang Aurel.
“Beranilah. Kenapa enggak.”
Balasnya tegas.
“Sial lo. Eh, gue mau nanya dong, Ndo.” Ujar Aurel membuat Nando
mengangkat sebelah alisnya sembari menyipitkan matanya. “Kenapa sih tuh orang jadi sorotan dan nyaingi gue. Gak banget kan padahal. Lihat deh penampilannya.
Sama sekali gak gaul!” Lanjutnya sambil menunjuk kebelakang Nando dengan dagunya. Nando menengok
mencari tahu yang dimaksud Aurel dan tersenyum.
“Ya wajar, Rel. Nadia itu pantas jadi sorotan karena jadi contoh yang baik. Nadia itu cantiknya natural beda sama kamu yang warna bibirnya kaya mau kondangan terus alis dilukis gitu. Selain itu dia selalu pakai pakaian yang sopan. Jadi dia adalah penerus generasi Bangsa ini yang hebat. Dia pintar berbagai macam tari tradisional gak kaya anak zaman sekarang yang cuma bisa jingkrak-jingkrak dan geleng-geleng mengikuti musik yang gak jelas. Terakhir dia ramah tidak seperti kamu.” Cibirnya yang langsung dihadiahi cubitan
oleh Aurel. Nando tertawa dan membentuk
simbol perdamaian.
“Apasih, Ndo! Gak usah banding-bandingin
dia sama gue deh! Dia mah gak gaul sama sekali. Ketinggalan zaman banget tuh anak.”
“Dengerin aku, Aurel yang cantik. Gaul gak harus dengan ubah warna rambut, pakaian ketat, poles tebal muka. Gaul bisa dimulai dengan kamu ramah dan lembut bicaranya dengan siapapun.
Itu udah bisa buat kamu terlihat gaul.”
“Gue enggak mau! Norak lo!” tolaknya mentah-mentah.
“Kenapa kamu gak mau sih, Rel? Kamu gak bakal ketinggalan zaman, Rel. Pakai pakaian gini kamu malah jadi negatif buat orang. Apa kamu mau? Pasti enggak kan. Soal wajah? Tanpa
dipoles kamu udah cantik natural. Terus daripada kamu menghamburkan uang banyak untuk beli sesuatu dari luar Negeri mending kamu beramal. Terus berfikir bagaimana mempertahankan budaya Indonesia. Itu jauh lebih baik dan akan membuat orang disekitarmu bangga padamu. Soal pemandangan indah untuk diabadikan di media sosial juga bisa di Indonesia. Ada Bali, Lampung, Lombok, Papua, dan lain-lain yang punya pesona luar biasa. Bahkan orang asing aja berbondong-bondong untuk datang kemari. Lah, kamu malah tidak mau menghargainya.” Lanjutnya lagi dan membuat Aurel terdiam. Gadis itu terlihat berfikir sambil mencerna baik-baik setiap kata-kata dari Nando.
“Ya tapi kan, Ndo. Gue...,”
“Rel, cintailah Negeri sendiri.
Jangan terbawa arus. Jangan lunturkan budaya kita sendiri. Enggak salah, kalau kamu ingin mengikuti perkembangan zaman tapi ambilah segi positifnya dan buang jauh-jauh yang negatif. Kita ini generasi penerus Bangsa kelak. Jadi jangan menjadi generasi yang menghancurkan Negerinya sendiri. Mengerti?”
“Iya gue..eh, aku mengerti.” Balasnya sembari menghembuskan nafasnya.
“Nah gitu dong. Itu baru sahabatnya aku.” Balas Nando senang. Aurel pun tersenyum menatap sahabatnya itu. ‘Nando benar. Aku, dia dan kami semua adalah salah satu generasi penerus Bangsa dikemudian hari. Aku harus cinta dengan Negeriku sendiri. Inilah Indonesia, Negeriku Budayaku.’
- Negara Indonesia adalah Negeri yang sangat kaya akan nilai budayanya, bahasanya
dan sumber dayanya sendiri yang melimpah ruah. Jadi tak salah jika zaman dahulu banyak penjajah berbondong-bondong menguasai Negeri ini. Diperkembangan zaman saat ini jangan sampai membuat kita menghancurkan Negeri kita sendiri. Karena akan jadi apa Negeri ini kelak tergantung ditangan
kita sekarang ini. Sadarlah bahwa kita adalah para generasi muda penerus Bangsa. Kita tidak boleh melunturkan budaya sendiri dan menyiakan perjuangan para pahlawan kita begitu saja. Junjunglah
terus persatuan dan kesatuan di Negeri ini. Majulah Indonesiaku  -

0 comments:

Post a Comment