Oleh: Denok Cinde Melati
Es krim yang
lumer terakhir coklatnya masih terasa hingga kini, manisnya pun masih pekat
dilidahku walau sudah lama habis tapi tak terlupakan sedikitpun rasa dan
teksturnya. Es krim itu ternyata yang terakhir untuk kita, es krim terakhir
saat hujan, hujan yang tenang serta manis eskrim itu yang menghantarkan
kepergianmu.
Tawa renyah kita dibawah gereja tua saat
menanti hujan kala itu terpecah oleh tangisan dari wanita diujung jalan
berparas cantik yang rambutnya tergerai panjang, lirih namun terdengar jelas,
wanita itu menatap kecewa kearah kita, warna terusan merah muda yang
dikenakannya berubah menjadi lebih pekat karena terbasahi hujan, kulitnya yang
putih terlihat pucat karena terserang dingin dibawah hujan. Namun ia tak peduli,
ia tetap berdiri dan menatap, aku tahu jelas dia sedang menangis, meski tak
dapat kubedakan yang mana air mata dan yang mana air hujan.
Dari tatapannya
aku merasakan kepedihan, namun entah mengapa tatapan wanita itu membuatku
merasa jadi tersangkanya, aku tak mengerti isyaratnya, hujan turun semakin
deras dan langit dibuat semakin gelap oleh awan hitam yang bergumpal-gumpal
diatasnya, jalanan seketika berkabut, tak terlihat jelas sosok wanita itu
disebrang jalan namun kupastikan ia masih berdiri rapuh ditempatnya semula.
Tak kusadari es krim coklat
ditanganku meleleh karena perhatianku terambil alih oleh sosok wanita itu,
kuhabiskan lumer terakhir eskrim ku yang meleleh itu, manisnya pekat dan
dinginnya masih melingkupi rongga mulutku. Aku tak peduli cuaca sedang seperti
apa, bagiku eskrim adalah cara terbaik untuk memperbaiki suasana hati. Dan
kamu paling mengerti soal itu karena kau sadar tadi aku jengkel mati-matian
menunggumu yang terlambat lebih dari satu jam dari waktu pertemuan kita. Eskrim
terakhir ini kami beli di toserba yang berada tepat ditepi jalan, di sebrang
sana dimana wanita berterusan pink itu berdiri.
Ummhhh..
dinginnya menjalar, entah karena eskrim terakhir itu atau karena angin yang
berhembus bersama hujan kala itu. Kufikir tadi aku sedang tertawa bahagia
bersamanya, aku lupa sejenak bahagiaku yang tadi karena teralihkan oleh
perhatian kepada wanita itu. Kulihat samar-samar ditepi jalan, ia masih
mematung memandang kearah kami, tapi aku heran sebenarnya apa yang membuat ia
menatap seperti itu, menatap dingin, kecewa, penuh kebencian serta mengancam.
Aku melupakanmu,
tak kusadari sedari tadi tawa kita terhenti, kutengadahkan kepala menatapmu
yang lebih tinggi 15cm dariku. Kini aku yang terpaku, aku keheranan mengapa
kamu terdiam, tatapanmu sepertinya kosong, kugenggam tanganmu erat kufikir kau
tidak baik-baik saja, tangan yang biasanya hangat itu kini terasa dingin, ku panggil lembut
namamu namun tak ada jawaban dari bibirmu, bibir itu tertutup rapat seakan
sengaja membisu, kutatap lagi matamu yang kufikir kosong itu, namun sesaat
kusadari ketika sekilas kulihat ditepi jalan sosok berterusan merah muda yang
mengalihkan tawa kami tadi.
Kusadari tatapan kosong itu
ternyata mengarah kepadanya, dan tatapan kecewa wanita itu mengarah untukmu.
Tapi apa ini, sebenarnya apa yang sedang terjadi, mengapa aku cemas, mengapa
aku yang seperti orang bodoh tidak mengerti apa-apa. Sekali lagi kupanggil
dengan lembut namamu namun bibirmu lagi-lagi membisu. “Maaf”, sesuatu
memecah kebisuanmu, “maaf” sekali lagi bisumu terpecah, tak terdengar jelas
yang kau katakan namun aku tahu yang kau ucap adalah suatu kata maaf.
Untuk siapa maaf
itu, aku tak mengerti???
Kini sambil
menatap mataku terdengar jelas sekali lagi kau ucapkan “maaf” “maafkan aku”,
kini aku yakin maaf itu untukku. Aku terdiam dalam lamunan, untuk apa maafmu?
Kurasa sedari tadi kau tidak melakukan kesalahan, juga jengkelku karena
keterlambatanmu telah reda sedari tadi karena eskrim itu, bahkan beberapa
saat lalu kita masih tertawa bahagia. Selama ini pun tak ada satu kesalahan
yang kau lakukan padaku, hari-hari yang kita lewati bahkan kau susun dengan
sempurna untuk bahagiaku, lalu untuk apa maafmu?.
Suara percikan
air membuyarkan lamunanku, namun kau tak lagi disampingku, ternyata percikan
air itu berasal dari langkahmu yang berlari cepat kesebrang jalan. Mengapa
kau berlari, hatiku mulai gundah, dadaku tiba-tiba sesak, aku tak ingin berfikir
buruk, kuyakini saja kau berlari ketoserba disebrang jalan untuk membeli eskrim
lagi untukku. Namun, tak terhitung berapa detik keyakinanku luntur,
langkahmu bukan untuk eskrim yang ada di toserba itu, langkahmu yang kulihat
dibawah hujan itu ternyata untuk wanita itu.
Tapi siapa wanita
itu, mengapa kau berlari dibawah hujan untuknya dan meninggalkanku terpaku
disini. Kutatap dari tempatku berdiri, kau sampai tepat didepan wanita itu,
wanita itu pun menatapmu dengan lekat, pelukan yang tiba-tiba kau berikan
padanya seketika membuat dadaku sesak, pipiku terasa panas dan sesuatu
mengalir dari kelopak mataku. Apa sebenarnya ini?? Mengapa terasa seperti
mimpi, mimpi buruk yang hadir merusak mimpi indahku.
Padahal masih teringat jelas tawa
bahagia serta candaan renyah kita tadi tapi kini segalanya berubah pasti, manis
eskrim tadi saja masih terasa tapi mengapa kini hidupku seketika pahit. Aku
fikir benar katamu kala itu ditengah perbincangan kita ketika kukatakan padamu
bahwa aku suka sekali pada hujan dan kau bilang
“tidak akan turun hujan lagi sampai rasa rapuh itu datang” kini benar
adanya, hujan datang bersamaan dengan rasa rapuh.
Awalnya hujan
yang kulihat mengiringi kerapuhan wanita yang berdiri disebrang jalan itu, lalu
pada langkah kakimu yang berlari rapuh meninggalkanku, hingga kini kerapuhan
yang menjalar kepadaku dikala kepedihan melanda karena konspirasi hati yang kau
mainkan. Begitu terlukanya aku, dengan lemah kulangkahkan kaki untuk meminta
penjelasan kepada kedua sosok penyebab lukaku disebrang jalan sana, entah apa
yang akan ku katakan aku belum mengetahuinya, yang jelas aku hanya ingin
secepatnya kesebrang jalan itu. Tubuhku mulai basah oleh rintik hujan yang tak
bersahabat, namun tetap tak kuhiraukan untuk menjumpai sosok disebrang sana
yang kini menatap bersalah padaku.
Langkahku pelan
tapi pasti, sekitar 200 meter jarak dari tempatku melangkah menuju tempat
mereka berdiri, angin berhembus kencang dan rintik hujan pun semakin deras, tak
ada suara yang terdengar selain deru hujan yang makin gila ritmenya, 100meter
lagi aku akan sampai, akan terjawab semua tanya yang berkecamuk dalam hatiku
sedari tadi, aku butuh penjelasan dalam situasi rumit ini. Kini aku tepat
ditengah jalan raya yang sedari tadi kosong, tak ada satu pun kendaraan yang
berlalu lalang, kutatap mantap kedepan dengan langkah percaya diri walau
sebenarnya aku ingin bergidik karena dingin.
Terakhir seperti kulihat kau
sedang bertieriak sesuatu padaku dari sebrang jalan itu, tapi aku tak peduli
kufikir teriakan itu hanya untuk mencegahku menghampiri kalian, atau kau
menyuruhku untuk menunggu, mimik serta raut wajahmu terlihat berusaha untuk
meyakinkanku agar mendengarkan, tapi percuma aku tetap berkeras kepala lagi
pula suaramu sama sekali tak terdengan dari tempatku karena kalah oleh deru
hujan. Sekali lagi aku melangkah namun kala itu aku seperti dihantam sesuatu,
aku melayang seperti terbang, terasa nyeri disekujur tubuhku sebelum aku
tersungkur dan menghantam trotoar jalan, seluruh tubuhku seketika lemah,
pandanganku mulai kabur, ternyata sedari tadi teriakannya untuk
memperingatkanku bahwa ada mobil yang melaju cepat dari arah kananku, namun
tak kusadari bahkan aku tak mendengar sedikitpun deru gasnya, karena yang
kudengar hanyalah deru hujan.
“Hujan
sepertinya kita memang bersahabat sangat baik, bahkan hanya suara rintikmu
yang selalu terdengar olehku sampai saat terakhirku, kau pun setia menjadi
saksi manis pahit kisahku selama beberapa sisa waktuku”. Hantaman mobil tadi
tak begitu terasa menyakitkan, nyatanya ulu hatiku lebih sakit saat ini dan
sejak terakhir tadi kulihat kau memeluk wanita itu. Namun hantaman itu
membuatku lemah, aku terbaring ditepi trotoar, aku ingin bangun tapi tubuhku
menolak melakukannya, “dingin” aku merasakan dingin yang amat luar biasa kini,
sesuatu sepertinya mengalir dari kepalaku yang terbentur trotoar, entah apa
namun terasa perih ketika tersentuh rintik hujan yang masih belum berhenti,
terlihat samar namun sepertinya kamu berlari kencang kearahku dan wanita itu
mengikuti tepat dibelakangmu, makin pudar segalanya makin tak terlihat jelas,
sebelum kulihat kau sampai disisiku kini segalanya seketika gelap. “Hitam,
pekat, sunyi, dan sepi, bahkan deru hujan tak terdengar lagi, hanya hampa yang
meliputi”
0 comments:
Post a Comment