Sunday, July 5, 2015

Es Krim Terakhir Saat Hujan

Oleh: Denok Cinde Melati

Es krim yang lumer terakhir coklatnya masih terasa hingga kini, manisnya pun masih pekat di­lidahku walau sudah lama ha­bis tapi tak terlupakan sedikitpun rasa dan teksturnya. Es krim itu ternyata yang terakhir untuk kita, es krim terakhir saat hujan, hujan yang tenang serta manis es­krim itu yang menghantarkan kepergianmu.
 Tawa renyah kita dibawah gereja tua saat menanti hujan kala itu terpecah oleh tangisan dari wanita diujung jalan berparas cantik yang rambutnya ter­gerai panjang, lirih namun terdengar jelas, wanita itu menatap kecewa kearah kita, warna te­rusan merah muda yang dikena­kannya berubah menjadi lebih pekat karena terbasahi hujan, kulitnya yang putih terlihat pucat karena terserang dingin dibawah hujan. Namun ia tak peduli, ia tetap berdiri dan menatap, aku tahu jelas dia sedang menangis, meski tak dapat kubedakan yang mana air mata dan yang mana air hujan.
Dari tatapannya aku merasakan kepedihan, namun entah mengapa tatapan wanita itu membuatku merasa jadi tersangkanya, aku tak mengerti isyaratnya, hujan turun semakin deras dan langit dibuat semakin gelap oleh awan hitam yang bergumpal-gumpal diatasnya, ja­lanan seketika berkabut, tak ter­lihat jelas sosok wanita itu disebrang jalan namun kupastikan ia masih berdiri rapuh ditempatnya semula.
Tak kusadari es krim coklat ditanganku meleleh karena perhatianku terambil alih oleh sosok wanita itu, kuhabiskan lumer te­rakhir eskrim ku yang meleleh itu, manisnya pekat dan dinginnya masih melingkupi rongga mulutku. Aku tak peduli cu­aca sedang seperti apa, bagiku es­krim adalah cara terbaik untuk mem­perbaiki suasana hati. Dan kamu paling mengerti soal itu karena kau sadar tadi aku jengkel mati-matian menunggumu yang terlambat lebih dari satu jam dari waktu pertemuan kita. Eskrim terakhir ini kami beli di toserba yang berada tepat ditepi jalan, di sebrang sana dimana wanita berterusan pink itu berdiri.
Ummhhh.. dinginnya menjalar, entah karena eskrim terakhir itu atau karena angin yang berhembus bersama hujan kala itu. Kufikir tadi aku sedang ter­tawa bahagia bersamanya, aku lupa sejenak bahagiaku yang tadi karena teralihkan oleh perhatian kepada wanita itu. Kulihat samar-samar ditepi jalan, ia masih mematung memandang kearah kami, tapi aku heran sebenarnya apa yang membuat ia menatap seperti itu, menatap dingin, kecewa, penuh kebencian serta mengancam.
Aku melupakanmu, tak kusadari sedari tadi tawa kita terhenti, kutengadahkan kepala menatapmu yang lebih tinggi 15cm dariku. Kini aku yang terpaku, aku keheranan mengapa kamu terdiam, tatapanmu sepertinya ko­song, kugenggam tanganmu erat kufikir kau tidak baik-baik saja, tangan yang biasanya hangat  itu kini terasa dingin, ku panggil lembut namamu namun tak ada jawaban dari bibirmu, bibir itu tertutup rapat seakan se­ngaja membisu, kutatap lagi ma­tamu yang kufikir kosong itu, namun sesaat kusadari ketika sekilas kulihat ditepi jalan sosok berterusan merah muda yang mengalihkan tawa kami tadi.
Kusadari tatapan kosong itu ter­nyata mengarah kepadanya, dan tatapan kecewa wanita itu mengarah untukmu. Tapi apa ini, sebenarnya apa yang sedang ter­jadi, mengapa aku cemas, mengapa aku yang seperti orang bo­doh tidak mengerti apa-apa. Sekali lagi kupanggil dengan lem­­but namamu namun bibirmu lagi-lagi membisu. “Maaf”, se­suatu memecah kebisuanmu, “maaf” sekali lagi bisumu terpecah, tak terdengar jelas yang kau katakan namun aku tahu yang kau ucap adalah suatu kata ma­af.
Untuk siapa maaf itu, aku tak mengerti???
Kini sambil menatap mataku terdengar jelas sekali lagi kau ucapkan “maaf” “maafkan aku”, kini aku yakin maaf itu untukku. Aku terdiam dalam lamunan, untuk apa maafmu? Kurasa se­dari tadi kau tidak melakukan kesalahan, juga jengkelku karena ke­ter­lambatanmu telah reda se­dari tadi karena eskrim itu, bah­kan beberapa saat lalu kita ma­sih tertawa bahagia. Selama ini pun tak ada satu kesalahan yang kau lakukan padaku, hari-hari yang kita lewati bahkan kau susun dengan sempurna untuk bahagiaku, lalu untuk apa maafmu?.
Suara percikan air membuyarkan lamunanku, namun kau tak lagi disampingku, ternyata per­cikan air itu berasal dari lang­kahmu yang berlari cepat kese­brang jalan. Mengapa kau berlari, hatiku mulai gundah, dadaku tiba-tiba sesak, aku tak ingin berfikir buruk, kuyakini saja kau berlari ketoserba disebrang jalan untuk membeli eskrim lagi un­tukku. Namun, tak terhitung be­rapa detik keyakinanku luntur, lang­kahmu bukan untuk eskrim yang ada di toserba itu, langkahmu yang kulihat dibawah hujan itu ternyata untuk wanita itu.
Tapi siapa wanita itu, mengapa kau berlari dibawah hujan untuk­nya dan meninggalkanku terpaku disini. Kutatap dari tem­patku berdiri, kau sampai tepat didepan wanita itu, wanita itu pun menatapmu dengan lekat, pelukan yang tiba-tiba kau berikan padanya se­ketika membuat dadaku sesak, pipiku terasa panas dan sesuatu me­ngalir dari kelopak mataku. Apa sebenarnya ini?? Mengapa terasa seperti mimpi, mimpi bu­ruk yang hadir merusak mimpi indahku.
Padahal masih teringat jelas tawa bahagia serta candaan renyah kita tadi tapi kini segalanya berubah pasti, manis eskrim tadi saja masih terasa tapi mengapa kini hidupku seketika pahit. Aku fikir benar katamu kala itu ditengah perbincangan kita ketika kukatakan padamu bahwa aku suka sekali pada hujan dan kau bilang  “tidak akan turun hujan lagi sampai rasa rapuh itu datang” kini benar adanya, hujan datang bersamaan dengan rasa rapuh.
Awalnya hujan yang kulihat mengiringi kerapuhan wanita yang berdiri disebrang jalan itu, lalu pada langkah kakimu yang berlari rapuh meninggalkanku, hingga kini kerapuhan yang menjalar kepadaku dikala kepedihan melanda karena konspirasi hati yang kau mainkan. Begitu terlukanya aku, dengan lemah kulangkahkan kaki untuk meminta penjelasan kepada kedua sosok pe­nyebab lukaku disebrang jalan sana, entah apa yang akan ku katakan aku belum mengetahuinya, yang jelas aku hanya ingin secepatnya kesebrang jalan itu. Tubuhku mulai basah oleh rintik hujan yang tak bersahabat, namun tetap tak kuhiraukan untuk menjumpai sosok disebrang sana yang kini menatap bersalah padaku.
Langkahku pelan tapi pasti, sekitar 200 meter jarak dari tem­pat­­ku melangkah menuju tempat mereka berdiri, angin berhembus kencang dan rintik hujan pun semakin deras, tak ada suara yang terdengar selain deru hujan yang makin gila ritmenya, 100meter lagi aku akan sampai, akan terjawab semua tanya yang berkecamuk dalam hatiku sedari tadi, aku butuh penjelasan dalam situasi rumit ini. Kini aku tepat ditengah jalan raya yang sedari tadi kosong, tak ada satu pun kendaraan yang berlalu lalang, kutatap mantap kedepan dengan langkah percaya diri walau sebenarnya aku ingin bergidik karena dingin.
Terakhir seperti kulihat kau sedang bertieriak sesuatu padaku dari sebrang jalan itu, tapi aku tak peduli kufikir teriakan itu hanya untuk mencegahku menghampiri kalian, atau kau menyuruhku untuk menunggu, mimik serta raut wajahmu terlihat berusaha untuk meyakinkanku agar mendengarkan, tapi percuma aku tetap berkeras kepala lagi pula suaramu sama sekali tak terdengan dari tempatku karena kalah oleh deru hujan. Sekali lagi aku melangkah namun kala itu aku seperti dihantam sesuatu, aku melayang seperti terbang, terasa nyeri disekujur tubuhku sebelum aku tersungkur dan menghantam trotoar jalan, seluruh tubuhku seketika lemah, pandanganku mulai kabur, ternyata sedari tadi teriakannya untuk memperingat­kanku bahwa ada mobil yang melaju cepat dari arah kananku, namun tak kusadari bahkan aku tak mendengar sedikitpun deru gasnya, karena yang kudengar hanyalah deru hujan.
“Hujan sepertinya kita me­mang bersahabat sangat baik, bah­kan hanya suara rintikmu yang selalu terdengar olehku sampai saat terakhirku, kau pun setia menjadi saksi manis pahit kisahku selama beberapa sisa waktuku”. Hantaman mobil tadi tak begitu terasa menyakitkan, nyatanya ulu hatiku lebih sakit saat ini dan sejak terakhir tadi kulihat kau memeluk wanita itu. Namun hantaman itu membuatku lemah, aku terbaring ditepi trotoar, aku ingin bangun tapi tubuhku menolak melakukannya, “dingin” aku merasakan dingin yang amat luar biasa kini, sesuatu sepertinya mengalir dari kepalaku yang terbentur trotoar, entah apa namun terasa perih ketika tersentuh rintik hujan yang masih belum berhenti, terlihat samar namun sepertinya kamu berlari kencang kearahku dan wanita itu mengikuti tepat dibelakangmu, makin pudar segalanya makin tak terlihat jelas, sebelum kulihat kau sampai disisiku kini segalanya seketika gelap. “Hitam, pekat, sunyi, dan sepi, bahkan deru hujan tak terdengar lagi, hanya hampa yang meliputi”



0 comments:

Post a Comment