Tuesday, June 28, 2016

Melampaui Batas Imajinasi

By : Fia Ayu Handadari

“Gemana tenangkan ?” tanya Naya saatku mulai lagi membuka buku kecil yang amat ajaib. Terus kubaca lembar demi lembar isi buku itu. Semakin lama aku semakin nyaman berada didunia ini. Naya terus bicara panjang lebar disampingku dengan gaya yang penuh memotivasi.
Ketika hati begitu nyaman dengan dunia ini. Pikiranku seolah memberontak dan mencoba mengatakan bahwa kenyataan tidak akan senyaman yang dirasakan hati.
Aku terhenti membaca buku. “Mengapa Tuhan tidak pernah memberiku nikmat lebih? Sejenak saja aku ingin berhenti hidup seperti ini. Aku lelah.” Keluhku kepada Naya.
Naya selalu balik bertanya ketika aku mengutarakan keluhanku. “Tak bisakah kehadiranku disini kau hitung sebagai nikmat Tuhan untukmu?” Naya menunjukkan kembali kekecewaannya kepadaku. Aku tertunduk sejenak. Aku mencoba menahan tangisku tetapi tak berhasil. Langsung kudekap Naya.
Hidup itu keras, hidup itu kejam. Ada kalanya kita berada di awan dan ada kalanya kita terduduk di asalnya manusia yaitu, tanah. Dua tahun lalu, aku benar-benar terpuruk. Sendiri, meronta-ronta menjalani hidup yang fana. Dedaunan lebih memilih gugur dari pohonnya. Terinjak-injak oleh manusia yang penuh ego dibandingkan harus menemaniku di kala terik mentari menampar wajahku. Entah bagaimana menafsirkan jalan hidup ini. Terkadang hati ini merasa pasrah atas takdir yang Tuhan berikan. Terkadang pula hatiku menjerit, menganggap bahwa takdirku mungkin tertukar dengan orang lain. Atau mungkin, sebenarnya aku tercipta sebagai orang yang tak pandai bersyukur.
Itu hanya masa lalu. Kini berbeda karena Naya. Walau kadang masih kurang bersyukur, tetapi Naya selalu sukses membangkitkanku. Mungkin banyak orang yang menganggapku aneh karena menjadikan Naya sebagai sahabat. Tetapi hanya dia yang selalu mau menemaniku. Dia selalu jadi alasan ku untuk tidak menyerah pada hidup. Naya selalu ada untuk ku. Naya selalu jadi motivatorku.
Bersama Naya aku tak merasakan lagi sunyi, senyap dan sepi. Dan tidak hanya Naya tetapi ada juga Karin dan Irul yang selalu mewarnai kisah hidupku. Mengajak untuk tidak selalu terpuruk. Aku terlahir dalam keluarga yang tidak harmonis. Tetapi dengan Naya hidupku bisa terlihat harmonis dan menemukan dua sahabat unik, yaitu Karin dan Irul.
Aku duduk memandangi makanan yang terhidang dimeja kecil, dan terkadang meja itu aku gunakan sebagai meja belajar. “Jangan lupa makan” ucap ibukku dalam sms. Kupandangi ruangan kecil ini. Kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang tamu jadi satu dalam ruangan berukuran 4 x 5 m2. “Tak bisakah kau yang menghubungiku, ibu.” Pintaku dalam hati. Naya memegang kepalaku dan mengarahkan pandanganku ke arah buku kecil ajaib yang selalu kubawa kemana-mana. Aku tersenyum. Aku paham maksud Naya. “Ketika kamu sedih baca aja buku ini. Dijamin kamu lupa kesedihan kamu.” Ucap Naya saat pertama kali aku bertemu Naya. Aku mulai menyantap sarapanku dan bergegas berangkat kekampus. Sinar mentari menyambutku dengan lembut ketika aku keluar rumah. Kumasukkan buku kecil ajaib kedalam tasku. Naya tersenyum girang menatapku. Senyum Naya memberiku semangat.
“Saya yakin dengan konsep ini, pemasaran kita akan banyak di sukai orang.” Tutupku tegas saat aku mempresentasikan ide ku kepada teman sekelas. Riuh terdengar suara tepuk tangan. Senyum mengembang diwajah teman-teman. “Idenya sangat kreatif.” Sayup ku dengar pujian atas ideku.
Segera ku menuju taman, tak sabar ingin ceritakan keberhasilanku kepada Naya. Ku baca kembali buku kecil ajaib. “Sedikit saja bersyukur. Akan ada nikmat Tuhan yang datang lebih dari yang kita inginkan. Karena Tuhan tahu apa yang sedang kita butuhkan.” Ucap Naya sembari memberikan senyuman terbaik.
Tiba-tiba datang seorang pria. “Ini titipan dari ayahmu.” Ucapnya singkat sembari memberikan amplop kepadaku. Aku tersenyum dan membungkukkan badanku tanda terimakasih. Pria itu hanya tersenyum tipis lantas berlalu dari hadapanku. Walau tak seberapa isi amplop itu namun sangat berharga karena itu pemberian ayahku.
“Bersabarlah, itu yang lebih baik.” Ucap Naya tegarkan aku lagi.
“Oi . . . Husna.” Suara keras dari kejauhan. Aku berbalik mencari sumber suara. Karin dan Irul berjalan mendekatiku. “Belum makan siangkan?” tanya irul sembari menutup buku kecil ajaib dan memasukkannya ke dalam tasku. “ Ayo kita makan.” Ajak Karin antusias membuka bekal makanannya. Karin dan Irul mulai mengintrograsi apa yang sudah kulalui hari ini. Mereka berdua selalu hadir dalam masa-masa sulitku. Menghiburku, mendengarkan keluh kesahku. Kami tertawa bersama, sedih pun bersama. Ini lebih menyenangkan.
Ya . . . beginilah hidup. Terkadang sedih, terkadang bahagia.. Ketika ide dihargai, ketika ibu mulai menyapaku, ketika ayah berusaha memberi, dan ketika dua sahabat selalu membuat ku tersenyum, adalah suatu hal yang amat sangat membuatku bahagia. Terasa seperti Tuhan memberiku hidup sempurna.
Ditengah-tengah asiknya menyantap makan siang aku tersedak. Karin dan irul panik. Mereka buru-buru memberiku minum. Ku nikmati sebotol air putih, dan mulai memutihkan pikiranku. Ditegukan terakhir aku tersadar bahwa aku sudah melampaui batas imajinasi yang seharusnya. Ini bukan imajinasi lagi, tapi sudah masuk katagori khayalan. Nama ku Husna. Umur ku 19 tahun. Orang tua ku sudah lama bercerai. Ibu pergi entah kemana aku tak tahu. Aku selalu berimajinasi, bahwa aku disapa ibu melalui sms. Sekedar mengingatkan makan ataupun menanyakan kabar. Tapi nyatanya, smsku pun tak pernah dibalas olehnya. Aku berimajinasi, bahwa ayah selalu memberi aku amplop berisi pesangon. Tapi nyatanya, ayah selalu memberiku surat agar aku lekas pulang.
Aku berimajinasi, bahwa aku mempunyai dua orang sahabat. Tapi nyatanya, ada dua orang yang selalu mengolok-olok diriku. Aku berimajinasi, bahwa ide ku selalu diterima dengan baik oleh siapa pun. Tapi nyatanya, aku dianggap orang aneh karena terlalu imajinatif. Idenya selalu aneh dan abstrak. Terlalu berbau seni katanya.
Aku menahan tangis sambil mulai menguyah makan siangku. Cegukan sangat mengangguku. Air mataku mulai menetes. “Ya . . . Allah, Tuhanku. Aku lelah. Biarkanlah sejenak saja aku berhenti hidup seperti ini. Bisakah kau berikan aku nikmat lebih.” Keluhku dalam hati. Cegukanku semakin menjadi-jadi. “Tak bisakah aku, kau hitung sebagai nikmat Tuhan untuk mu?” Kuraih Buku kecil Ajaib itu.
Al-qur’an kecil dengan sampul berwarna oranye adalah pemberian ibu. Dan saat itu adalah kali terakhir aku melihat wajah ibu. Sejak itu Aku mulai berimajinasi tentang Naya. Ini imajinasi yang lebih parah.Aku berimajinasi ketika aku mulai membuka dan membacanya, Naya datang. Aku berimajinasi Naya sedang memberi tahu isi dari Al-qur’an, padahal aku sedang membacanya sendiri. Satu kelemahanku, aku masih kurang bisa bersyukur, padahal Tuhan telah memberiku buku ajaib sebagai penghilang
rasa gundah. Kudekap Al-Qur’an pemberian ibu sambil meneteskan air mata. Perlahan hilanglah cegukanku.
“Sadar Husna. Kau sudah melampaui batas imajinasi. Sadar husna ini sudah masuk khayalan yang tak sepatutnya di khayal. Karena hidup bukan untuk berkhayal.” Ucapku dalam hati untuk menyemangatkan diriku sendiri. Aku sadar berkhayal membuatku tidak bisa mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan kepadaku.
Mungkin aku sendiri, mungkin aku harus berjuang mencari nafkah sendiri, mungkin orang selalu menganggapku aneh, mungkin aku selalu terasingkan, tetapi dengan beginilah Tuhan memcoba berbicara kepadaku bahwa hidup untuk menjadi lebih dewasa itu ada jalan yang terjal yang harus dilewati agar aku di pandang kuat dan tak mudah diremehkan.
Tuhan selalu lebih tahu apa yang sedang aku butuhkan. Haruskah aku berhenti berimajinasi. Tuhan berkata tidak, namun “Berhentilah Melampaui Batas Imajinasi.”

0 comments:

Post a Comment