Saturday, October 28, 2017

Langit Senja 2


Meskipun ayah adalah laki-laki yang kucintai, tetapLangiadalaharapayanakciptakan untuk melengkapi kedua sayap malaikatku yang kini tak sempurna. Aku ingin ia terus mengingatku, aku ingin ia yang dulu. Aku ingin melihat wajahnya yang khawatir saat aku terjatuh dari sepeda, aku mau dia yang menemaniku. Rasanya sudah lama sejak saat itu, bahkan aku bertemu dengannya hanya pada waktu senggang. Saat ia belum kembali ke dunianya yang baru.

Rinai terlalu banyak menyita perhatiannya, mem- buatnya tersenyum. Entah apa yang dilakukannya hingga Langit tak pernah bosan saat menyebutkan namanya didepanku. Karena sekarang aku sadar akan arti hidup yang mengharuskanku untuk terus memberikan yang terbaik kepada orang-orang baik disekitarku. Aku sadar akan cinta yang tetap mem- buatku bertahan, dan air mata yang mengajarkanku untuk  selalu  kuat  di  atas  kelemahanku.  Berharap bisa menyentuhnya, memasuki kehidupannya, dan menjadi sesuatu yang tak pernah dilepasnya pergi.
Aku   sedang   meletakkan   secangkir   teh   yang barsajkuminuketikpandangankmenang- kap sosok tegap yang datang menghampiri pagar rumahku dengan langkah pelan di bawah derasnya hujan pukul empat. Dahiku berkerut samar sambil memfokuskan mataku pada sosok itu. Aku terlonjak saat wajah Langit kini terlihat jelas dengan seluruh tubuhnya yang basah. Sontak aku berlari ke depan dan membuka pagar, membiarkannya masuk dan menuntunnya duduk di kursi teras. Kemudian aku masuk ke dalam rumah dan mengambil dua lembar handuk. Aku menyelimutinya yang tampak sedang kedinginan. Saat aku hendak membuatkan minuman hangat untuknya, tanganku terasa dingin karena ia memegangnya. Menahan aku pergi, entah apa yang terjadi padanya.
Aku menemukan Langit yang tak seperti biasanya sejak ia melangkah menuju rumahku tadi, dan hal itu semakin terlihat ketika pandangan kami bertubrukan. Binarnya meredup seolah menggambarkan perih danpedih yang teramat. Hanya dengan melihat wajahnya membuatku bertanya-tanya tentang keadaan yang se- benarnya. Aku terpaku saat tiba-tiba ia melingkarkan kedua lengannya dipinggangku. Langit menyandarkan kepalanya diperutku, membuatku menahan napas be- berapa detik. Rasa dingin karena tubuhnya yang basah melingkupiku tak sebanding dengan kehangatan dari pelukan yang ia berikan. Aku menunduk dan menemui rambut hitamnya yang lebat. Dengan segala keberanian yang aku punya, perlahan kuangkat kedua tanganku dan balas mendekap kepalanya. Aku baru mengetahui apa yang sebenarnya Langit rasakan ketika ia memper- erat pelukannya.
“Minum dulu, ujarku begitu melihat Langit. Aku menyuruhnya mandi dan mengganti pakaiannya dengan milik Bang Reynald, kakakku. Sekarang kami dududruang tengarumahkyansedansepi karena hanya ada aku dan Langit. Bang Rey sedang mengantar ibu membawakan pesanan ke rumah pelang- gan. Aku duduk disampingnya, melihat semua perger- akan Langit. Ia meneguk teh hangat buatanku dan menatapku setelah itu. “Mau cerita? tawarku. Baru kali ini aku melihat kesedihannya. Selama ini aku yang selalu menunjukkan sisi lemahku, berharap ia yang akan menghapusnya. Menggantinya dengan tawa yang ia ciptakan diwajahku. Langit memandangku dengan pan- dangan kosong seolah semua kebahagiaan telah tereng- gut dari jiwanya.
“Besok, di tempat biasa.jawabnya. Ia menepuk kepalaku kemudian. Mengucapkan terima kasih dan berlalu setelah itu. Aku semakin bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa maksud Langit berkata seperti itu? Kenapa tidak sekarang saja? Mengapa harus besok?
Dengan sejuta rasa penasaran, aku melangkah menuju taman yang berjarak 50 meter dari rumah. Tempat yang merekam semua kenangan masa laluku bersama Langit. Di taman ini, aku menghabiskan banyak waktu dengannya.
“Sudah lama? ucap seseorang yang suaranya begitu kukenali. Aku menggeleng pelan. Langit terlihat lebih baik hari ini. Dengan jaket hitamnya, aku semakin merasakan kekaguman pada sosok yang berdiri di depanku sekarang.
Sesuai janjinya, Langit mulai bercerita. Katanya, Rinai telah berhenti. Berhenti untuk bersamanya, ber- henti menemaninya melihat senja, berhenti untuk selalu berada disisinya, dan itu semua terjadi saat Langit ingin mengatakan apa yang ia rasakan setiap bersama gadis itu. Rinai berkata kepada Langit bahwa mereka harus menyudahi semuanya. Menyudahi? Mereka bahkan belum memulai apa-apa! Rinai bilang telah ada ses- eorang yang sudah lebih dulu menunggunya, lebih dulu terikat relasi dengannya, dan hal itu sudah cukup membuat Langit patah arang. Ia bilang dirinya menyesal atas apa yang selama ini diperbuatnya.
Aku kembali menemukan Langit menatap mataku dalam. Dua menit berlalu dan tetap seperti itu, dan dari tatapannya itulah, aku merasa lemah. Rekaman itu kembali terputar, semuanya tergambar jelas dan harapan itu kembali muncul.
Aku merasakan cengkraman di kedua bahuku. “Rinai bukan segalanya. ucapnya. Aku tak tahu apa yang dimaksud Langit. Tatapannya melembut.
Ada yang menunggu untuk ditemani setiap sore. Ada yang menunggu untuk bercanda tentang masa lalu. Ada yang menghabiskan cintanya untuk seseorang yang tengah menunggu jawaban dari orang lain. Ada yang ingin disambung sayap patah malaikatnya.”
Wajah Langit mengabur di pandanganku. Lalu kura- sakan kedua pipiku basah oleh aliran hangat. Langit mengabulkan harapanku.
Aku sadar itu. Terima kasih sudah mau menunggu ketidakpastian yang mungkin menyakitkan, Senja. Maaf membuatmu sendiri. Maaf membuat kamu menunggu senja sendirian. Aku tahu sekarang, kemana aku harus pulang.”
Aku kembali merasakan pelukannya, mataku terpe- jam menikmati semua kelegaan dan kehangatan yang perlahan mengalir di seluruh tubuhku. Dan untuk pertama kalinya, Langit mencium puncak kepalaku. Menempelkan pipinya disana.
Senja telah menemukan renjana. The End

0 comments:

Post a Comment