Karya: Dini Indrastuti
Meskipun ayah
adalah laki-laki yang kucintai,
tetapi Langit adalah
harapan yang aku ciptakan untuk melengkapi kedua sayap malaikatku
yang
kini tak sempurna. Aku ingin ia terus mengingatku, aku ingin ia yang dulu. Aku ingin melihat wajahnya yang khawatir
saat aku terjatuh dari sepeda,
aku mau
dia yang menemaniku. Rasanya sudah lama sejak saat itu, bahkan aku bertemu dengannya hanya pada waktu
senggang. Saat ia belum
kembali ke dunianya yang baru.
Rinai
terlalu banyak menyita perhatiannya, mem- buatnya tersenyum. Entah apa yang
dilakukannya hingga Langit tak
pernah bosan saat menyebutkan namanya didepanku. Karena sekarang aku sadar
akan arti hidup yang mengharuskanku
untuk terus memberikan yang terbaik
kepada orang-orang baik disekitarku. Aku sadar akan cinta yang tetap mem-
buatku bertahan, dan air mata yang
mengajarkanku untuk selalu kuat
di atas kelemahanku.
Berharap bisa menyentuhnya, memasuki kehidupannya, dan menjadi sesuatu yang tak pernah dilepasnya pergi.
Aku sedang
meletakkan secangkir teh yang baru
saja kuminum ketika pandanganku menang-
kap sosok
tegap yang datang menghampiri
pagar rumahku dengan langkah pelan di bawah
derasnya hujan pukul empat.
Dahiku berkerut samar sambil memfokuskan mataku pada sosok itu.
Aku
terlonjak saat wajah
Langit kini terlihat jelas dengan
seluruh tubuhnya yang basah.
Sontak aku berlari ke depan
dan membuka pagar, membiarkannya masuk
dan menuntunnya duduk di kursi
teras. Kemudian aku masuk ke dalam
rumah dan mengambil dua lembar
handuk. Aku menyelimutinya yang tampak sedang
kedinginan. Saat aku hendak
membuatkan minuman hangat untuknya,
tanganku terasa dingin karena ia
memegangnya. Menahan
aku pergi,
entah apa yang terjadi padanya.
Aku menemukan Langit yang tak
seperti biasanya sejak ia
melangkah menuju rumahku tadi, dan
hal itu semakin terlihat ketika pandangan
kami bertubrukan. Binarnya meredup seolah menggambarkan perih danpedih
yang
teramat. Hanya dengan melihat
wajahnya membuatku
bertanya-tanya tentang
keadaan yang se- benarnya.
Aku
terpaku saat tiba-tiba ia melingkarkan
kedua lengannya dipinggangku.
Langit menyandarkan kepalanya diperutku, membuatku menahan napas be- berapa
detik. Rasa dingin karena tubuhnya yang basah
melingkupiku tak sebanding dengan kehangatan dari pelukan yang ia berikan.
Aku menunduk dan menemui
rambut hitamnya yang lebat. Dengan segala keberanian yang aku punya,
perlahan kuangkat kedua tanganku dan balas mendekap kepalanya.
Aku
baru mengetahui apa yang sebenarnya Langit rasakan ketika
ia
memper- erat pelukannya.
“Minum dulu,” ujarku begitu melihat
Langit. Aku menyuruhnya mandi dan mengganti
pakaiannya dengan milik Bang
Reynald, kakakku. Sekarang kami duduk
di ruang tengah rumahku yang
sedang sepi
karena hanya ada
aku dan Langit. Bang Rey
sedang mengantar ibu membawakan pesanan ke rumah pelang-
gan. Aku duduk disampingnya, melihat semua perger-
akan Langit. Ia meneguk teh
hangat buatanku dan menatapku setelah itu. “Mau cerita?” tawarku. Baru
kali ini aku melihat
kesedihannya. Selama ini
aku yang selalu menunjukkan sisi lemahku, berharap ia yang akan menghapusnya. Menggantinya dengan tawa yang ia
ciptakan diwajahku.
Langit memandangku dengan pan-
dangan kosong seolah semua kebahagiaan telah tereng-
gut
dari jiwanya.
“Besok, di tempat biasa.”
jawabnya. Ia
menepuk kepalaku kemudian. Mengucapkan terima kasih dan
berlalu setelah itu. Aku semakin bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa maksud Langit berkata seperti itu? Kenapa tidak sekarang saja? Mengapa harus besok?
Dengan sejuta rasa penasaran,
aku melangkah menuju taman
yang
berjarak 50 meter dari rumah.
Tempat yang merekam
semua kenangan masa laluku
bersama Langit.
Di taman ini, aku menghabiskan banyak waktu dengannya.
“Sudah lama?” ucap seseorang yang suaranya begitu kukenali. Aku menggeleng pelan. Langit terlihat lebih
baik hari ini. Dengan jaket hitamnya, aku semakin
merasakan kekaguman pada sosok yang berdiri di depanku sekarang.
Sesuai janjinya,
Langit mulai bercerita. Katanya, Rinai
telah berhenti. Berhenti untuk
bersamanya, ber-
henti menemaninya melihat
senja, berhenti untuk selalu
berada disisinya, dan
itu semua terjadi
saat Langit ingin mengatakan apa yang ia
rasakan setiap bersama gadis itu. Rinai berkata kepada Langit
bahwa
mereka harus menyudahi semuanya.
Menyudahi? Mereka bahkan belum memulai apa-apa!
Rinai bilang telah ada ses-
eorang yang sudah lebih
dulu menunggunya, lebih
dulu terikat relasi dengannya,
dan hal itu sudah cukup
membuat Langit patah arang. Ia bilang dirinya menyesal
atas apa yang selama ini diperbuatnya.
Aku kembali menemukan Langit menatap mataku dalam. Dua menit berlalu dan tetap seperti itu, dan
dari tatapannya itulah, aku merasa lemah. Rekaman
itu kembali terputar, semuanya tergambar jelas dan harapan itu kembali muncul.
Aku merasakan cengkraman di kedua bahuku. “Rinai bukan segalanya.” ucapnya.
Aku
tak tahu apa yang dimaksud Langit. Tatapannya melembut.
“Ada yang menunggu untuk
ditemani setiap sore. Ada yang menunggu
untuk bercanda tentang masa lalu.
Ada yang menghabiskan cintanya untuk seseorang
yang tengah menunggu
jawaban dari orang lain.
Ada
yang ingin disambung
sayap patah malaikatnya.”
Wajah
Langit mengabur di pandanganku. Lalu kura-
sakan kedua pipiku basah oleh
aliran hangat. Langit mengabulkan harapanku.
“Aku
sadar itu. Terima kasih sudah mau menunggu
ketidakpastian yang mungkin
menyakitkan, Senja. Maaf
membuatmu sendiri. Maaf membuat
kamu menunggu senja sendirian. Aku tahu sekarang,
kemana aku harus
pulang.”
Aku kembali merasakan pelukannya, mataku
terpe- jam menikmati
semua kelegaan dan kehangatan yang perlahan mengalir di
seluruh tubuhku. Dan untuk pertama kalinya, Langit
mencium puncak kepalaku. Menempelkan pipinya disana.
Senja telah menemukan
renjana. The End
0 comments:
Post a Comment